0 com

So Far And Still So Close

Kita nggak akan pernah tau apa yang akan menunggu di depan kita. Di satu sisi, aku benci banget keadaan ini karena aku nggak pernah bisa merencanakan apapun (karena rencana hanyalah rencana, and God will do the rest), tapi di sisi lain, i kinda like it karena hanya bisa terkejut dan tertawa bahwa ternyata God has sense of humour.

Apa sih ini, aku juga nggak tau mau nulis apa.
Terlalu banyak yang mo keluar di otak, malah bingung mana yang mo dikeluarin duluan. Alhasil, malah diare. Heuu.. Yeaaa, agak memalukan penyakitku kali ini. Masuk angin + maag + diare = Paket komplit. Dan, hasilnya, aku malah duduk di sini and do nothing except writing.

He's completely new 'old' face. Maksudnya, muka baru di lingkungan lama. Lucu kalo diinget-inget bagaimana dunia berputar di sekeliling kita selama ini, and we never really 'see' each other.

Bagaimana dunia mempermainkan kita dalam 'satu boks' dan memberi sekat tipis di antara kita jadi kita sama-sama nggak saling melihat satu sama lain, padahal SD-SMP kita tetanggaan, dia kenal beberapa teman-teman SD-SMP ku (beberapa bahkan tetangga-an 'tinggal-ngesot' sama dia), dia sangat tau seluk-beluk SMA ku (karena kakak, dan kedua adiknya juga sekolah di tempat yang sama denganku, bahkan sahabatnya juga), dan nggak cuma itu, dia juga punya ex di tempat kuliahku (okay, let's face it). Dan yaa, kita jadi salah satu 'korban' universe's jokes.

Mungkin, bagi yang kenal aku dengan baik, pasti kaget. Gara-gara aku kok secara mendadak dan mengejutkan tiba-tiba bisa suka sama 'cowok'. Wait, i'm not lesbian. I'm fully straight. And I do like boys. Tapi, kalo udah berurusan sama 'hati', nggak tau kenapa, aku bisa jadi takut setengah mati. Kalo udah takut begini, boro-boro melanjutkan hubungan, yang ada aku malah kabur. Beberapa orang bilang aku suka mempermainkan perasaan orang.

Tapi bukan. Aku justru mempermainkan perasaanku sendiri. Dan aku juga benci itu.

Ekstrimnya, bahkan salah satu senior paskibraku dengan berlebihannya menanggapi keputusanku kali ini untuk getting closer with this-new-guy dengan kata-kata, "Wahh hebat juga si R**, pake pelet apa dia kok bisa bikin kamu tiba-tiba berani sama cowok?" Sialan.

Aku juga nggak tau kenapa bisa begini.
Kenapa bisa jadi seperti sekarang. Kenapa bisa 'sedalem' ini dalam tempo yang 'sesingkat' ini. And guess what, semuanya tuh awalnya pake feeling. Semuanya. Heboh. Dan justru aku jadi takut kenapa aku nggak takut. Bagi yang bertanya-tanya gimana awal ketemunya, I can't explain. Pasti banyak prejudice, dan aku nggak mau kalo itu menyangkut dia. Kalo aku doang sih nggak apa-apa. Udah biasa.

Let me explain how I feel.

Kadang aku sedih banget kalo dia lagi marahin aku, tapi sekaligus seneng dan takut. Senengnya karena ada yang perhatian, sedihnya karena aku bikin dia marah, takutnya karena omongan dia yang marah jadi omongan terakhir yang paling ku ingat tentang dia. (Karena kita jauh, kadang aku takut ada apa-apa. Dan ketika terjadi apa-apa, aku nggak mau banget ingatan terakhirku tentang dia adalah pada saat dia marah sama aku)

Kalo ngeliat bulan di atas sana.
Aku jadi suka mikir yang aneh-aneh, tapi takut disuruh keramas, jadi aku nggak pernah ngomong ini ke dia. Biar kita jauh, anehnya, bulan di langit yang kita lihat tuh bentuknya sama, cahayanya sama, gedenya sama. Hal ini bikin aku merinding sekaligus mikir, how close we are.

Aku nggak pernah nuntut apa-apa dari dia. He's far from perfection, and neither do I. Dan aku justru sangat suka ketidak-sempurnaannya itu. Padahal pengalamanku yang dulu-dulu, aku selalu melihat kekurangan orang-orang yang mendekatiku. Dan hal itu yang bikin aku jadi nggak pernah dewasa. Padahal kalo dipikir-pikir, dia yang terjauh, tapi beneran nggak pernah ada kata-kata 'seharusnya..'

Dan aku gampang ilfil. Dilarang dikit, ilfil. Dimarahin dikit, nggak terima. Di-agresif-in dikit, ngibrit. Digombalin dikit, jijay (dan ngibrit juga kemudian). Macem-macemlah. And he did it all. Dan aku nggak ilfil. Beneran pake pelet nih, hihi..

Dan dia bener-bener jahat. Karena udah bikin aku addicted. He's my real heroine. Haha, keramas!

Oia, keramas itu kata-kata yang kita pake kalo konteksnya gombal. Gombal lalu kita plesetan jadi gimbal. Makanya biar nggak gimbal, keramas dulu.. Hehe.

Aku nggak tau kenapa jadi ngomongin ini. Nggak tau juga tujuan nulis ini untuk apa. Jadi lebih baik diakhiri sebelum makin gimbal kayak penyanyi reggae. Haha!

Today's Soundtrack: So Close - Alan Menken (ost. Enchanted)

Fave Part:

So close to reaching
That famous happy and
Almost believing
This one's not pretend
Now you're beside me
And look how far we've come
So far
We are
So close...

Oh, how could I face the faceless days
If I should lose you now?

... So close, and still
So far (harusnya dibalik nih. So far and still so close.. lohh..lohh.. haha)



Chao,

Ney
Read more »
0 com

Headache, My Stormy Head

Kadang aku sama sekali nggak tau tujuan aku diciptakan. Bukan kadang, sering malah. Malahan nggak ada satupun yang tahu itu. Tapi itulah inti hidup, mencari jati diri. Kayak cerita-cerita rakyat atau legenda-legenda yang pernah aku baca. Aku jadi inget satu cerita, kalo nggak salah, mamaku yang pernah cerita ini sama aku. Oia, bukan bermaksud meng-kulturisasi (like someone ever told me, hehe), tapi berhubung mamaku orang Solo, jadi yaa nggak jauh-jauh dari kebudayaan Jawa Tengah gitu deh.

Berhubung ingatanku pendek, jadi kira-kira ceritanya begini:
Arjuna tak pernah menyangka sebelumnya, bahwa dia akan mewarisi Gandiwa (busur panah yang diberikan Dewa Baruna kepadanya) sebagai senjata pusakanya. Sebelumnya yang ia tahu, ia hanya pandai memanah. Sampai suatu hari Dewa Baruna memberikan tes kepada Arjuna dan saudara-saudaranya (Pandawa) sebuah tes memanah sebuah pohon.

Ketika busur sudah dilengkungkan, dan anak panah telah ditarik, kemudian Dewa Baruna bertanya pada mereka, satu per satu, tentang apa yang mereka masing-masing lihat. Satu per satu dari mereka mengatakan melihat batang pohon, melihat ranting, melihat cabang, sampai-sampai melihat ulat di daun. Namun, ketika pertanyaan tersebut sampai ke telinga Arjuna, justru Arjuna menjawab melihat sebuah titik.

Ku pikir, telingaku mulai nggak beres. Maka ku ulangi pernyataan mamaku, "titik?" Lalu beliau menjawabnya dengan tenang, "iya titik."

Hmm, oke. Mungkin saudara-saudara Arjuna (Pandawa) juga mulai kebingungan dengan jawaban saudaranya sendiri. Namun tidak demikian halnya dengan Dewa Baruna, beliau justru terlihat sumringah dan mengatakan,"inilah yang ku cari selama ini." Alasannya, karena Arjuna justru menemukan 'titik-fokusnya'. Dan akhirnya ia pun mendapatkan Gandiwa pemberian dari Dewa Baruna. Dan pilihan Dewa Baruna memang tidak salah. Arjuna memang pemanah paling ulung yang dimiliki sepanjang sejarah Mahabharata (apalagi setelah ia mendapatkan panah Pasopati-nya di kemudian hari).

***

Waduh, udah pada tidur nih kayaknya gara-gara denger ceritaku. Oke, kita cerita yang lebih 'urban'. Lord of The Rings:
Frodo hanya seorang yang mengira dirinya Hobbit biasa seperti yang lainnya. Namun, siapa sangka takdir Middle-Earth justru berada dalam genggamannya tatkala dia diberikan tugas mahaberat, yaitu menjadi pembawa cincin iblis untuk dihancurkan dengan cara dilelehkan ke dalam lava mendidih.

Atau cerita-cerita lainnya, seperti Hercules, Harry Potter, hingga bahkan Po (Kung Fu Panda). Mereka semua memiliki satu kesamaan. Mereka nggak pernah tau jati diri mereka yang sebenarnya di dunia. Apalagi Po. Seekor Panda penjual-mie-gendut-suka-makan, ternyata the one and only Dragon Warrior. Enaknya, dia punya guru sejati yang walaupun awalnya terpaksa, tapi akhirnya menemukan teknik yang tepat untuk melatih Po menjadi The Dragon Warrior.

Dan satu lagi pelajaran dari kung fu Panda, yaitu bahwa kekuatan tak hanya sekedar showing all your muscles. Buktinya, Po nggak punya itu semua.

***

Tapi, kemudian pertanyaan dimulai waktu aku nonton The Butterfly Effects 2 (TBE 2). Di film itu, si peran utama pria bertekad mengubah 'takdir'-nya supaya jadi lebih baik. Mulai dari menyelamatkan pacarnya, menyelamatkan karir dan sahabat-sahabat, sampai akhirnya dia menemukan satu titik 'takdir'-nya sendiri, yaitu mengorbankan dirinya sendiri demi pacar dan sahabat-sahabatnya.

Atau bisa disimpulkan dia menyerah. Menyerah pada dirinya sendiri yang jika keadaannya dalam kondisi hidup, dia tak akan mampu membahagiakan pacar dan sahabat-sahabatnya itu. Waaw. Itu contoh ekstrimnya. Dan ada satu scene dimana dia 'menyabotase' takdir dengan menukar posisinya dengan bosnya (yang sangat menyebalkan), dan pada akhirnya dia justru mendapatkan situasi dimana dia bahkan jauh lebih buruk dari bosnya ketika telah berada di puncak perusahaan.

Untungnya kita nggak bisa begitu. Serem juga kalo bisa. Kita nggak akan bisa tahu jalan mana yang benar, karena udah terlalu bias mana yang jadi prioritas. Aku sih percaya that everything happened for reasons. Nggak ada yang sia-sia di dunia, kecuali kalo kita nggak pernah bisa 'mengambil' hikmahnya. Itu menurutku.

Trus pertanyaan selanjutnya, apa kita 'boleh' menyerah? Yaah andaikan kita berada di posisi si pemeran utama pria di film TBE 2, di situ dia tidak menyerah pada nasib, dan bertekad memperbaiki karirnya. Tapi karena kegigihannya itu, justru pada akhirnya (setelah dia menjadi vice pres-dir, presiden direktur) dia mengetahui bahwa dirinya nggak capable dan justru malah menghancurkan perusahaan itu. Andaikan sebelum itu dia menerima menyerah saja pada nasib.

Tapi apa jadinya kalau Einstein menyerah? Kalau Thomas Alfa Edison berhenti di tengah jalan? Atau Kartini menyerah begitu saja? Aku makin bingung.

Jadi sebenarnya kita boleh menyerah atau tidak? Dan darimana kita tahu dengan pasti bahwa apa yang kita lakukan sekarang adalah jalan yang benar, jalan yang menjadi tujuan kita diciptakan sebenarnya? Gimme some feedbacks, guys..


Still need some answers,

Ney.

Read more »
0 com

High School Madness

Nyebelin! Udah nulis panjang-panjang, tiba-tiba keapus. Mana draft-nya udah keburu ke apus juga. Dammit! *menghela nafas panjang* Soo, here we go again.. (Mungkin nggak se-panjang yang ku tulis tadi, abis males banget ngulang lagi..)

***

Ternyata oh ternyata, setelah diutak-atik ke sana kemari, sekaligus dapet bantuan dari si dia, yang juga ikut mengutak-utik blog, ternyata emang nggak bisa dimunculin si kolom komen di blog
ku yang ribet tersayang ini, heuu. Tapi, berhubung aku udah terlanjur cinta sama si layout yang ini, dan tidak menemukan cinta yang template-template lain yang ku browsing di internet seharian ini, akhirnya kuputuskan untuk tetap menggunakan template yang ini.

Trus masalah si kolom komen (masih berharap ada keajaiban yang bisa memunculkan si kolom komen di blogku sih) itu, aku memutuskan untuk menggunakan si kolom chat box sebagai penggantinya (itu juga kalo ada yang mo ngasih komen, hehe). Jadi tulis di sa
na aja ya bo'.

Oia, trus hari ini kutambahin playlist imeem juga di blogku. Itu juga setelah bersusah payah nyari-nyari lagunya dulu, haha. Tapi maaf dulu sebelumnya, kalo ternyata lagunya justru bikin tambah ngantuk (selain tulisannya), karena bagi sebagian orang (yang ku kenal), mereka justru menghina selera musikku karena bikin mereka ngantuk. Emang aku suka musik jadul, tapi juga suka musik jaman sekarang kok. Panik,haha! Coba aja play aja playlist-nya, dan buktikan sendiri. Haha.

And yes, I love Frank Sinatra. Sayangnya, lagu-lagu Frank Sinatra di imeem banyak banget tapi jarang yang familiar di kupingku. Jadi, malah banyak lagunya Frank Sinatra yang udah di cover version
sama orang lain, yang rekamannya lebih bagus. Dengerin aja deh.

***

Eniwei, kemarin aku abis blog-walking, dan
menemukan beberapa blog orang yang berasal dari SMA yang sama denganku, SMAN 78, Jakarta Barat. Hmm, jadi bernostalgia gitu deh. Jadi inget banyak hal. Mulai dari yang sedih-sedih, gila-gila, sampe yang seneng-seneng. Jadi inget juga kata orang-orang yang bilang kalo masa-masa SMA itu adalah masa yang paling indah. Bener nggak sih?

Hmm, jawabanku iya. 'Indah' bukan berarti indah kayak gambar pemandangannya anak SD yang ada gambar dua gunung, dengan jalan di tengahnya, sunset di antaranya, dengan sawah dan rumah di sebelah kanan dan kiri jalan. Tak lupa awan dan burung di atas gunung. Bukan, b
ukan itu. Aku menyebutnya indah, bukan pula karena jalanku yang lurus-lurus aja tanpa halangan. Karena jalanku waktu itu jauh dari mulus, malah penuh dengan batu dan kerikil.

Tapi serius deh, aku sempet stres banget waktu itu. Apalagi waktu baru masuk dulu, aku ditempatkan di kelas yang 'katanya' unggulan. Dan sekelas dengan murid-murid 'unggulan' itu feels like hell. Mungkin karena sama-sama dulunya (waktu SMP) juara, jadi jiwa kompetisinya kental banget (dan kadang nggak sehat), belom lagi egois dan individualistisnya yang kenceng banget, dan juga jangan lupakan sekelas itu isinya 'mantan' juara di SMP dan ingin mengulang kesuksesannya di SMA (baca: A-M-B-I-S-I-U-S).

Waaw, padahal aku cuma kebetulan aja punya nilai bagus waktu SMP. Kebetulan aku masih rajin, kebetulan aku fokus
banget, kebetulan aku ngerti sama pelajarannya, which I don't have them in high school. Dan belum ada beberapa bulan, aku sudah merasa nggak cocok di sana, dan sekaligus jadi stres berat. Sampe-sampe suatu hari di sela-sela doaku waktu sholat, aku inget banget sempet 'curhat' dan bertanya pada-Nya apa aku salah berdoa? Karena waktu aku SMP, aku sering banget berdoa pengen masuk SMA 78 (yaa, se-spesifik itu doaku..) dan menurutku, kalo mungkin aku terlalu memaksa-Nya supaya mengabulkan doaku, walaupun itu bukan yang terbaik untukku. What a stupid thought!

Tapi, untunglah pada akhirnya aku menemukan orang-orang yang bisa aku terima dan menerimaku apa adanya, tanpa aku harus berpura-pura menjadi orang lain. Mereka bisa menerima segala keanehan, ke-autis-an ku, dan paket lengkap kebodohan campur kecerobohan ditambah sifatku yang luar biasa pelupa itu. Haha! Dan mereka adalah sahabat-sahabatku dan keluarga keduaku (baca: Paskibra 78).

Mungkin sebagian orang akan tertawa melecehkan, karena tulisanku barusan. Apa sih? Sekte-pemuja-tiang gitu dibilang keluarga kedua. You'll never know what I've got there, kalo nggak pernah merasakannya sendiri. Dan, menurutku sayang banget bagi mereka yang menganut 'ilmu itu bisa didapat dari mana saja', tapi justru menyepelekan ekskul kesayanganku yang satu itu. Jadi jangan heran, kalo ada kerabatku atau kolegaku yang ku kenal ada yang masuk 78 akan langsung kutawarkan masuk ekskul Paskibra. Karena mereka lah, aku siap mendewasakan diriku sendiri. Yeaa right, kata-kata 'siap' itu yang selalu mereka dengungkan dulu. Dan memang benar, I'm ready to face the world. Haha! Berlebihan.

Orang-orang di atas itulah yang kemudian bikin masa-masa SMA-ku nggak se-seram, nggak se-kejam, dan nggak se-parah sebelumnya. Dari yang tadinya childish and brainless, jadi childish with brain *haha!*. Maksudnya, emang nggak langsung berubah banget juga, karena semuanya butuh proses. But, at least sekarang udah bisa 'mikir'.


And, I'm really happy to know that.. ternyata doaku nggak pernah salah, dan aku tak pernah menyesali apapun sekalipun.. ^___^

Jadi inget salah satu quote favoritku, dari film Evan Almighty:
If someone prays for patience, you think God gives them patience? Or does he give them the opportunity to be patient? If he prayed for courage, does God give him courage, or does he give him opportunities to be courageous? If someone prayed for the family to be closer, do you think God zaps them with warm fuzzy feelings, or does he give them opportunities to love each other?
And here they are, beberapa teman-temanku, and my best friends I mention before, in high school: (Foto keluarga besar Paskibranya nyusul deh,hehe.. Udah capek nih gara-gara mesti ngulang lagi tadi..)


miss you guys! heuu..

Today's Soundtrack: Esok kan Masih Ada - Firman (track no.24 di playlist-ku..)


Wish you all have a high-school-madness like me,

Ney.
Read more »
0 com

Sampai Kapan

Akhirnya setelah browsing segala macam blog skin, sekaligus dibuat tolol pusing sama bahasa-bahasa web itu, akhirnya ketemu juga deh blog layout yang simple, rapih, dan bahasa html-nya aku ngerti (jadi bisa diedit-edit .red). Tapi belom bisa munculin kolom komen nih.. Bagi yang ngerti, kasih tau aku dong.. Lewat email boleh, lewat ym pingbox (yang ada di sebelah kiri itu loh .red) juga boleh, atau langsung contact aku lewat account facebook-ku juga bisa.

Udah lama juga nggak nulis, udah seminggu ajaa..

Hari ini keluargaku balik ke Ciledug, setelah kemarin datang. Daan, seperti biasa, ribet banget tuh kan ada mereka. Yang satu berantem sama yang lain, yang lainnya lagi cepet ngambek kayak anak kecil, satunya lagi (aku .red) masa-bodo-amat sama yang lainnya. Bukannya apa, tapi kalo lagi ribet kayak gitu mending diemin aja deh, daripada ikut emosi (walaupun kepala udah mo meledak rasanya, heuu). Tapi tetep kok aku seneng banget dikunjungi. At least, jadi nggak autis ya kan? Hihi..

Bandung masih aja tetep dingin. Ujan masih dimana-mana (walopun sekarang aku udah nggak bisa 'menikmati' hujan lagi, karena penyebab satu dan lain hal), untung aja nggak belum banjir. Tapi, walaupun udara dinginnya minta ampun kayak gini, kayaknya di kamar sebelah ada yang nggak kedinginan, yaah siapa lagi kalo bukan si wanita berinisial MW (the girl-next-door .red) dan pacarnya, yang dateng jauh-jauh dari luar kota Bandung, berinisial GP.

About him, belom ada peningkatan yang signifikan *hihi..*, tapi alhamdulillah semua berjalan baik-baik saja sampe sekarang.

Next!
Huah, mulai bosan dengan rutinitas perkuliahan. Bertemu dengan gedung yang sama, dosen yang itu-itu aja, muka-muka yang masih itu-itu juga. Pada ganti muka kek biar nggak bosen liatnya, huehehe. Mana materi kuliahnya makin nggak jelas apa maksudnya, untung ada Estetika sebagai pelipur lara. Duuh, mendadak mulai memikirkan hal-hal apa yang ku impikan or things I desire the most (nggak tau kapan terwujudnya, tapi boleh kan kalo mimpi? haha!), beberapa di antaranya:
  1. Travelling around Europe (and see Eiffel, of course!)
  2. Bisa main music-instrument fluently. Nggak setengah-setengah kayak sekarang.
  3. Have a fabulous holiday in Bali/Lombok (pokoknya pantai yang eksotis) bareng sama sahabat-sahabatku, ngeliat sunset bareng, and stuffs like that lah..
  4. Beli sepatu Converse yang-mirip-sepatu-bowling-itu pake duitku sendiri tentunya.. *sebenernya udah ada nih duitnya, tapi kok malah sayang ya mo dibeliin.. huhu.. mesti ngirit demi Turki nih.. SEMANGAT!
  5. Places I Want to Visit (reachable): Kawah Putih, Boscha, Green Canyon, Citarik -arung jeram-, Pantai Pangandaran
  6. Places I Want to Visit (un-reachable, ato paling nggak dalam waktu dekat): Lombok (pantai), Bunaken (pantai), Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Irian Jaya, dan pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia (masa seumur hidupku dihabiskan di pulau Jawa melulu, kecuali ke Bali waktu itu).
  7. Have a great GPA is a must!
  8. Be the next Lisa Ling! *huweee, mimpi banget nih, tapi beneran aku pengen banget kayak dia..
  9. Bisa 'ngomong' selancar 'nulis', apalagi dalam dua kondisi: in English, and Publicly
  10. Bisa ngelanjutin studiku di luar. Tapi sebenernya males juga sih ngelanjutin.. Jadi kalo ada biaya yaa kenapa tidak, tapi kalo nggak ada, let's make some money! haha!
Sebenernya masih banyak lagi, tapi belom kepikiran lagi. Ntar deh, siapa tau ada episode 2-nya.

Huah, lupa.
Besok udah hari senin lagi (gila hari-hari berlalu dengan cepat, ngerasa nggak sih?), dan itu tandanya ketemu Ekopolin (baca: Ekonomi Politik Internasional .red) lagi. I'd better be study kalo besok nggak mau dikeluarin sama si dosen. Walaupun sebenernya nggak ngerti banget. But hey, I promise my self to study hard this semester. Fighting!

Today's sound track: Maliq & D'Essentials - Sampai Kapan
Favourite Part:
menantikanmu dalam jiwaku
sabarku menunggu
berharap sendiri
aku mencoba
merindukan bayanganmu
karena hanyalah bayanganmu yang ada
***
pantaskah diriku ingin mengharapkan
suatu yang lebih dari hanya sekedar perhatian
dari dirimu yang kau anggap biasa saja
***
atau mestikah ku simpan dalam diri
lalu kuendapkan rasa ini terus selama-lamanya
***
oh sayang
dapatkah aku memanggilmu sayang
***
dengarlah jeritan hatiku untukmu oh
dan aku ingin engkau mengerti apa yang dihatiku
sanubariku kita kan berdua selamanya
The Boldest Part:
kuingin engkau mengerti
mungkinkah engkau sadari
cinta yang ada di hatiku
tanpa sepatah katapun ku ucapkan padamu
Huehehe.. Yang ngerasa, rasakanlah bagus deh.. *hihi
Udah ah, makin ngaco inih. See ya!

Ney.

Read more »
0 com

Tidak Dilahirkan adalah Nasib Terbaik?

Heuu, hari ini Bandung luar biasa dingin. Dinginnya abis-abisan. Bahkan sweater-ku yang ku pakai hari ini nggak cukup menahan hawa dingin dan angin yang nggak kira-kira kencengnya. Mendadak aku rindu matahari, which is nggak nampak batang hidungnya seharian ini.

Mendung.
Yaa, sedikit gerimis kecil yang cukup rapat cukup membasahi wajah dan rambutku seperti titik-titik dingin yang menyegarkan.
Nggak ingin melewatkan kesempatan ini, ku masukkan kembali payungku ke dalam tas.
Pusing atau
migrain? Itu masalah nanti.

Aku suka gerimis rintik-rintik kayak gini.
But still, aku nggak suka udara dingin yang menusuk.

Well, cukup
intro-nya. Banyak yang ingin ku katakan hari ini.
Hari itu, aku nonton sebuah film Indonesia arahan Joko Anwar yang diangkat dari novel, yang aku lupa judulnya, kalo nggak salah sih judulnya sama kayak filmnya, Pintu Terlarang.

Film gila tentang orang gila dengan pikiran-pikirannya yang gila dan cukup membuat
penonton-yang-terlalu-dalam-mengartikannya kayak aku gini jadi ikutan gila. Ada satu quote dari film tersebut yang masih terngiang-ngiang dalam benakku sampai sekarang. Setting-nya ketika si tokoh utama pria mengantarkan istrinya ke sebuah klinik kecil untuk mengaborsi bayi di luar nikah mereka. Lalu, si tokoh utama pria bertemu dengan seorang laki-laki berumur yang memberi arti 'anak' pada si tokoh utama pria, menurut sudut pandangnya. (Nggak sama-sama banget sih per katanya, tapi sama aja sih artinya.)

"Seorang anak sebenarnya tak pernah ingin dilahirkan, karena dunia hanya menawarkan masalah semata. Mereka (anak-anak .red) lahir semata karena konsekuensi dari hubungan kedua orangtuanya."


Trus aku jadi ingat kata-kata bernada serupa yang ada di catatan harian Soe Hok Gie.

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”


Well, yaa ada benarnya juga sih.

Hmm, tapi layaknya orang belajar naik sepeda (walaupun aku nggak bisa, boleh kan aku ngasih contohnya naik sepeda.. hehe .red), sakit sih kalo jatuh. Tapi kalo nggak jatuh sama aja kita nggak mau naik sepeda, dan dengan nggak belajar naik sepeda kita nggak akan bisa merasakan semilirnya angin yang membelai rambut, dan menyapu wajah kita.
And life is all about learning. And that's the problem. Masalahnya, kita belajar untuk hidup dan survive di dunia. Kalo nggak belajar itu, kita nggak bakal bisa menikmati hal-hal indah lainnya di dunia. Hey, masih ada sunset yang sangat sayang untuk dilewatkan (at least for me), at least masih ada cinta di dunia yang pantas untuk ditunggu. Walaupun untuk itu juga banyak rintangan juga yang harus dilewati. Yah intinya, nikmati aja semuanya, bahkan masalah itu sendiri.

Jadi inget waktu ikut seminar AIDS kemarin. Bahkan anak yang terlahir dengan HIV Positif yang ditularkan dari ibunya aja, masih bisa menikmati hidup. Kenapa kita nggak bisa?

Arghh mulai ngelantur. Padahal aku masih mau nulis tentang diskriminasi. Hmmm, tapi kayaknya agak panjang kalo diterus-terusin. Mungkin
next post.

Today's song: John Mayer - Waiting on The World to Change

See you soon,
Ney
Read more »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...