Tidak Dilahirkan adalah Nasib Terbaik?

Heuu, hari ini Bandung luar biasa dingin. Dinginnya abis-abisan. Bahkan sweater-ku yang ku pakai hari ini nggak cukup menahan hawa dingin dan angin yang nggak kira-kira kencengnya. Mendadak aku rindu matahari, which is nggak nampak batang hidungnya seharian ini.

Mendung.
Yaa, sedikit gerimis kecil yang cukup rapat cukup membasahi wajah dan rambutku seperti titik-titik dingin yang menyegarkan.
Nggak ingin melewatkan kesempatan ini, ku masukkan kembali payungku ke dalam tas.
Pusing atau
migrain? Itu masalah nanti.

Aku suka gerimis rintik-rintik kayak gini.
But still, aku nggak suka udara dingin yang menusuk.

Well, cukup
intro-nya. Banyak yang ingin ku katakan hari ini.
Hari itu, aku nonton sebuah film Indonesia arahan Joko Anwar yang diangkat dari novel, yang aku lupa judulnya, kalo nggak salah sih judulnya sama kayak filmnya, Pintu Terlarang.

Film gila tentang orang gila dengan pikiran-pikirannya yang gila dan cukup membuat
penonton-yang-terlalu-dalam-mengartikannya kayak aku gini jadi ikutan gila. Ada satu quote dari film tersebut yang masih terngiang-ngiang dalam benakku sampai sekarang. Setting-nya ketika si tokoh utama pria mengantarkan istrinya ke sebuah klinik kecil untuk mengaborsi bayi di luar nikah mereka. Lalu, si tokoh utama pria bertemu dengan seorang laki-laki berumur yang memberi arti 'anak' pada si tokoh utama pria, menurut sudut pandangnya. (Nggak sama-sama banget sih per katanya, tapi sama aja sih artinya.)

"Seorang anak sebenarnya tak pernah ingin dilahirkan, karena dunia hanya menawarkan masalah semata. Mereka (anak-anak .red) lahir semata karena konsekuensi dari hubungan kedua orangtuanya."


Trus aku jadi ingat kata-kata bernada serupa yang ada di catatan harian Soe Hok Gie.

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”


Well, yaa ada benarnya juga sih.

Hmm, tapi layaknya orang belajar naik sepeda (walaupun aku nggak bisa, boleh kan aku ngasih contohnya naik sepeda.. hehe .red), sakit sih kalo jatuh. Tapi kalo nggak jatuh sama aja kita nggak mau naik sepeda, dan dengan nggak belajar naik sepeda kita nggak akan bisa merasakan semilirnya angin yang membelai rambut, dan menyapu wajah kita.
And life is all about learning. And that's the problem. Masalahnya, kita belajar untuk hidup dan survive di dunia. Kalo nggak belajar itu, kita nggak bakal bisa menikmati hal-hal indah lainnya di dunia. Hey, masih ada sunset yang sangat sayang untuk dilewatkan (at least for me), at least masih ada cinta di dunia yang pantas untuk ditunggu. Walaupun untuk itu juga banyak rintangan juga yang harus dilewati. Yah intinya, nikmati aja semuanya, bahkan masalah itu sendiri.

Jadi inget waktu ikut seminar AIDS kemarin. Bahkan anak yang terlahir dengan HIV Positif yang ditularkan dari ibunya aja, masih bisa menikmati hidup. Kenapa kita nggak bisa?

Arghh mulai ngelantur. Padahal aku masih mau nulis tentang diskriminasi. Hmmm, tapi kayaknya agak panjang kalo diterus-terusin. Mungkin
next post.

Today's song: John Mayer - Waiting on The World to Change

See you soon,
Ney

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...